Politik
13 Juli 2023 12:48 Diperbarui: 13 Juli 2023 13:14 363
+
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) telah lama pergi meninggalkan Indonesia karena kebangkrutannya yang disebabkan tindakan korupsi para pejabat, misal Gubernur VOC yang melakukan perdangan gelap untuk pribadi, alih-alih keuntungannya disetorkan ke VOC di Belanda. Hal inilah yang membawa kepada kehancuran dari perusahaan Kongsi Dagang Hindia Timur yang disebut-sebut memiliki saham dan kekayaan yang tak tertandingi jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang ada hari ini.
Menurut Bobby Salomos, VOC memiliki nilai saham perusahaan sebesar 78 juta gulden Belanda dan jika diperkirakan dengan nilai saat ini sekitar US$7,9 triliun--setara dengan gabungan Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo.
Meski para penjajah telah lama pergi meninggalkan Indonesia, sifat-sifat koruptif, anti-kritik, dan sering memeras rakyat masih tetap tinggal. Salah satu kabar yang tidak aneh dan asing bagi kita rakyatnya adalah kabar adanya pejabat yang tertangkap tindakan korupsi. Hal ini bukanlah suatu kebaruan buat kita. Kalau boleh disebut juga kata korupsi adalah predikat atau nama belakang buat para pejabat.
Seperti halnya kasus yang baru ini melibatkan pejabat Bea Cukai, Bupati, atau Wali Kota suatu daerah, sebenarnya hanya beberapa yang ketauan dari sekian kasus korupsi di Indonesia. Sudah bukan hal asing lagi bagi masyarakat Indonesia mendengar anggaran negara yang berasal dari rakyat ditilep oleh para pejabat. Setiap pergantian rezim dan siapapun presidennya, kita pasti temukan praktik korupsi dilakukan oleh pejabat.
Di Era reformasi tercatat dari tahun 2004 -- Juli 2020, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sebanyak 1.032 kasus, dengan jenis perkara korupsi yang kerap dilakukan yaitu penyuapan sebanyak 683, pengadaan barang atau jasa sebanyak 206, dan beberapa perkara lainnya seperti penyalahgunaan anggaran dan perijinan.
Sementara pada masa Orde Baru, Soeharto si "tangan besi" bersama kroninya meraup uang negara dengan cara mengalirkan uang negara ke yayasan swasta milik pribadi. Para pihak berwenang yang seharusnya menggunakan kekuasaan untuk melayani masyarakat justru berbalik membelakangi masyarakat dengan melakukan praktik korupsi.
Korupsi di masa kolonial
Mari kita mundur jauh ke belakang, tepatnya pada abad ke-19, ketika pemerintah kolonial beserta pejabat yang menjadi perpanjangan sistem kolonial menerapkan sistem pajak yang memberatkan rakyatnya.
Mulanya adalah Raffles pada abad ke-19 yang memperkenalkan sistem pajak yang dapat dibayar dengan uang tunai, bukan dalam bentuk barang. Secara teoritis sistem ini ditujukan Raffles agar menguntungkan penduduk pribumi dengan membebaskan mereka dari kerja paksa (rodi) dan kerja bakti lainnya agar mereka mampu membayar pajak tanah saja.
Faktanya seperti diungkap oleh Peter Carey, dalam buku The power of prophecy Prince Dipanagara and the end of an older in Java, 1785-1855, menjelaskan bahwa para penduduk tetap diwajibkan bekerja paksa menanam kopi dan tanaman indigofera dengan beban kerja yang mampu membuat kulit mereka berubah (discoloration of their skin), akan tetapi upah yang diberikan kepada mereka tergolong rendah--bahkan saking rendahnya apabila kita menggunakan ukuran saat ini juga akan terheran-heran.
HALAMAN :
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
Mohon tunggu...
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
` } }) document.querySelector('.video-box-thumb').innerHTML = html_video_rec_thumb; } } } let description = document.querySelector('meta[name="description"]').content let keywords = document.querySelector('meta[name="content_tags"]').content let title = document.getElementsByTagName("title")[0].textContent; let data = { "title": title, "description": description, "keywords": keywords, "page_id": "64af6797e1a167465736eb93", "current_url": "https://www.kompasiana.com/jatmika08687/64af6797e1a167465736eb93/korupsi-di-indonesia-dari-masa-ke-masa", } let data_kgnow_token = { "url": "https://apis.kompas.com/api/widget/video", "Authorization": "Bearer eyJpdiI6ImhyUXB1T0dKZnJabExYbzk5SlNTMkE9PSIsInZhbHVlIjoieUZ1NlVvVDUxOHRNQ2Z2bTE2ejBoZz09IiwibWFjIjoiYWZiYzQzNTk1NTFmODMxY2IyZTBmY2E4ODYyNWQ0YjU5N2VkOTgzNmVlNjU5ZmQ4MmI1YWJmZjU2Nzg4NGVhOSJ9", } rvJixie.open("POST", "https://apis.kompas.com/api/widget/video", true); rvJixie.setRequestHeader('Authorization', data_kgnow_token.Authorization); rvJixie.setRequestHeader('Content-Type', 'application/json'); rvJixie.send(JSON.stringify(data)); } getVideo(); function dateFormatJixie(value) { const monthText = ['Januari', 'Februari', 'Maret', 'April', 'Mei', 'Juni', 'Juli', 'Agustus', 'September', 'Oktober', 'November', 'Desember']; if (value) { const dateJixie = new Date(value); return dateJixie.getDate() + ' ' + monthText[dateJixie.getMonth()] + ' ' + dateJixie.getFullYear(); } else { return ""; } } function timeFormatJixie(value) { if (value) { const timeJixie = value.split(':'); if (timeJixie[0] == '00') { return timeJixie[1] + ':' + timeJixie[2]; } else { return value; } } else { return ""; } } function timeSince (value) { console.log("sini",value) if (typeof value !== 'object') { date = new Date(value); } var seconds = Math.floor((new Date() - date) / 1000); var intervalType; var interval = Math.floor(seconds / 31536000); if (interval >= 1) { intervalType = 'tahun yang lalu'; } else { interval = Math.floor(seconds / 2592000); if (interval >= 1) { intervalType = 'bulan yang lalu'; } else { interval = Math.floor(seconds / 86400); if (interval >= 1) { intervalType = 'hari yang lalu'; } else { interval = Math.floor(seconds / 3600); if (interval >= 1) { intervalType = "jam yang lalu"; } else { interval = Math.floor(seconds / 60); if (interval >= 1) { intervalType = "menit yang lalu"; } else { interval = seconds; intervalType = "detik yang lalu"; } } } } } return interval + ' ' + intervalType; }